Banyak karakter dalam sosial dibelahan dunia manapun dari setiap ras, bangsa, agama, umur, budaya dan lingkungan yang membutuhkan pengertian jiwa dan logika kedewasaan agar semua itu bisa diterima dengan hati legowo tanpa terpaksa. Saya termasuk dalam kategori personal yang mencoba memahami berbagai karakter tersebut yang dengan senang hati menerima karakter baik seseorang tapi dalam kenyataannya sangat sulit untuk menerima karakter negatif seseorang dalam sosial. Dalam pengamatan saya, ada beberapa karakter negatif yang umum berada dlm lingkungan sosial seperti : berkata kasar dan sinis, bersumpah serapah, iri dengki, tidak sportif dan sombong.
Karakter-karakter tersebut akan selalu ada dalam tingkat sosial manapun termasuk dalam lingkungan kerja.
Sangat sulitnya menerima karakter negatif seseorang karena secara psikologi kita mungkin memiliki karakter tersebut, kita seperti bercermin, hanya saja kita tidak mau mengakui bahwa kita sendiri memiliki satu, dua atau lebih karakter negatif itu. Sebelum kita berkomentar dan merasa tidak nyaman terhadap karakter seseorang ada baiknya jika kita mengetahui dahulu, yang mana karakter negatif kita? tanyalah hati pribadi, karena hati tidak pernah berbohong atau keluarga terdekat atau sahabat kita, karakter macam apakah yg kita miliki? baru setelah kita mengetahuinya, dengan pasrah, sadar, sabar dan tidak munafik “mengobati” karakter negatif tersebut, karena jiwa kita “sakit”. Jiwa yang sakit tidak dapat dengan serta merta dihilangkan secepat kilat dan instan dengan terapi pengobatan psikologi, hanya dengan keimanan dan kedewasaan, jiwa yang sakit dapat sembuh. Pertanyaannya bagaimana melakukan pengobatan itu? perlu ditelusuri sebelumnya asal muasal jiwa yang sakit berasal dari mana? dari kekecewaankah? kesedihan menahun? amarah? dendam? tidak mau menerima kenyataan? tidak puas diri? karena sebagian point-point yang disebutkan tsb dapat dengan mudah merubah karakter baik seseorang menjadi karakter terburuk. Untuk itu silahkan tanyakan dengan jujur pada diri anda sebabnya apa? kategorikan sebab2 tersebut, pilah dan obati satu-satu. Jangan lakukan pengobatan massal atas karakter negatif tersebut, karena emosi kita seringkali menolak untuk menyembuhkan jiwa yang sakit. Jadilah seperti kupu-kupu, dari sesuatu yang buruk menjadi sesuatu yang indah.
Tidak sedikit manusia mencari pengobatan tersebut dengan mendengar, mendatangi ceramah-ceramah, dakwah, seminar motivasi dsb, padahal obat penyembuhannya ada pada diri kita sendiri, hanya kita pura-pura tidak tahu atau rasa itu terhalang oleh keegoisan karena merasa nyaman bersembunyi dalam karakter itu, memakai topeng dan tidak mau mengakui bahwa jiwa kita sakit.
Penyakit hati paling sering dialami dengki, hasud, prasangkas buruk, berpikir negatif, khianat, dan lain sebagainya. Penyakit-penyakit ini apabila tidak ditangani dan ditanggulangi dengan baik bisa berakibat buruk pada diri kita. Seperti halnya sakit pada organ tubuh / fisik kita, penyakit hati yang berupa sifat perilaku buruk bisa diobati / disembuhkan dengan obat hati.
Dengki atau sirik atau hasud itu tidak sekedar dosa biasa, bahkan dianggap bahaya, karenanya harus dijauhi. Dalam Al-Qur’an sendiri dalam surat al-Falaq, Allah memerintah Nabi Muhammad untuk berlindung dari tindakan penghasud. Ini cukup menunjukkan betapa bahayanya tindakan hasud tersebut.
Dengki atau sirik atau hasud itu tidak sekedar dosa biasa, bahkan dianggap bahaya, karenanya harus dijauhi. Dalam Al-Qur’an sendiri dalam surat al-Falaq, Allah memerintah Nabi Muhammad untuk berlindung dari tindakan penghasud. Ini cukup menunjukkan betapa bahayanya tindakan hasud tersebut. Mengapa hasud itu sangat berbahaya? Karenabermula dari ketidaksenangan terehadap kebahagiaan seseorang, biasanya hasud lantas diiringi dengan keinginan mencelakakan orang tersebut. Perbuatan buruk itu merupakan serangan sepihak, tanpa orang yang dihasud tahu kapan dan dari mana asalnya serangan. Serangan sepihak seperti ini tentu lebih bahaya, karena pihak yang diserang tidak punya persiapan untuk balas melawan atau bertahan. Serangan di sini tidak terbatas pada hal-hal yang bersifat fisik, tapi bisa juga berujud fitnah.
Di samping berbahaya bagi orang lain, hasud adalah sumber kesengsaraan bagi diri penghasud. Rasulullah bersabda: “Jauhilah olehmu semua kedengkian, sebab kedengkian itu memakan segala kebaikan, sebagaimana api melalap kayu bakar yang kering.” Ini artinya, kebaikan-kebaikan yang kita lakukan tidak ada artinya jika kita masih suka menghasud. Jelasnya demikian: karena hasud itu merupakan rasa ketidaksenangan atas kebahagiaan orang lain, dan bahkan bisa diiringi dengan tindakan yang mencelakakan orang tersebut, maka sebenarnyalah hasud itu membuktikan bahwa kebaikan-kebaikan yang telah kita lakukan itu hanya bohong-bohongan belaka. Karena hati kita ternyata masih menyimpan keinginan (bahkan rencana-rencana) mencelakakan orang lain. Hasud, dengan ungkapan lain, adalah membangun kebahagiaan diri kita di atas kesengsaraan orang lain, dan sebaliknya, kesengsaraan diri kita atas kebahagiaan orang lain. Sekarang yang terpenting mengetahui kenapa sampai timbul hasud (iri, dengki, dan semacamnya)? Sebab utama munculnya hasud adalah ketiadaan rasa syukur atas nikmat-nikmat Allah yang kita terima. Kita selalu saja beranggapan “the grass over the fence always looks greener” (rumput di ladang orang lain selalu nampak lebih hijau), orang lain senantiasa lebih banyak kenikmatannya dari kita. Akibatnya muncul rasa rendah diri, rasa tidak percaya diri disertai iri, dengki, lalu hasud. Ini senada dengan penegasan Allah : “Dan ingatlah ketika Tuhanmu sekalian menegaskan, jika kamu benar-benar bersyukur maka pasti Aku akan tambahi (karunia) bagi kamu, dan jika kamu benar-benar ingkar maka sesungguhnya azab-Ku amat pedih.” (QS. Ibrahim/14:7) Kalau kita pandai-pandai mensyukuri nikmat yang kita terima maka kenikmatan akan terus bertambah, dan sebaliknya, kalau tidak kesengsaraan terus bertambah. Baik kenikmatan dan kesengsaraan di sini tidak harus langsung berujud materi, tapi rasa, sikap, dan nuansa batin. Kita sepenuhnya sadar, siapapun tidak akan sukses dunia-akherat tanpa rasa percaya diri, optimis, bahagia/senang (atas nikmat yang kita terima atau yang diterima orang lain), semangat, dan semacamnya. Dan yang menjadi pangkal kegagalan adalah adanya penyakit-penyakit batin: rasa tidak percaya diri, pesimis, iri, dengki, dan semacamnya. Yang terakhir, teruslah berdoa mohon ampunan Allah, mohon agar dikaruniai ketulusan, mudah mensyukuri nikmat yang kita terima dan diterima orang lain, agar dihindarkan dari rasa/sikap dengki, iri, hasud, dan sikap-sikap negatif lainnya, dan sebaliknya agar dikaruniai sikap-sikap positif. Perlu saya tegaskan, doa itu tidak harus dipanjatkan dengan bahasa Arab, tapi yang penting adalah kita tahu apa yang kita panjatkan disertai hati khusyuk dan memelas. Allah Maha Tahu apa yang terlintas dlm hati kita.
Kesabaran itu menempati spektrum yang luas. Sabar atas cobaan dan penderitaan, sabar atas datangnya musibah, sabar menjalani program-program yang telah direncanakan sampai mencapai target, sabar menunggu teman, dll. Singkatnya, kesabaran itu tidak hanya musti dikerahkan pada saat-saat tertimpa duka saja, tapi juga saat-saat suka. Kita perlu kesabaran ketika mengalami saat-saat suka agar kita tidak terlena dengan kesuka-riaan kita. Dan perlu diketahui, kesabaran itu adalah sikap yang amat terpuji. Nabi Muhammad saw sendiri dalam sebuah ayat diperintahkan untuk bersabar dan dilarang memohon pada Allah untuk menyegerakan siksa bagi musuh-musuhnya: “Maka bersabarlah kamu seperti sabarnya para Rasul yang mempunyai keteguhan hati dan janganlah kamu meminta disegerakan (azab) bagi mereka.” (QS. 46:35) Dan banyak ayat-ayat lain yang menegaskan betapa pentingnya sikap sabar itu. “…dan bersabarlah, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. 8:46) “Dan bersabarlah, karena sesungguhnya Allah tiada menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. 11:115) “Bersabarlah (hai Muhammad) dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah dan janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan.” (QS. 16:127) “Bersabarlah atas segala apa yang mereka katakan.” (QS. 38:17) “Maka bersabarlah kamu, karena sesungguhnya janji Allah itu benar, dan mohonlah ampunan untuk dosamu dan bertasbihlah seraya memuji Tuhanmu pada waktu petang dan pagi.” (QS. 40:55) Setelah tahu bahwa kesabaran itu sesuatu yang niscaya, tidak bisa tidak, perlu diketahui pula apa sih kesabaran itu? Kesabaran adalah kesadaran untuk bertindak secara kontinyu atau terus-menerus sesuai logika dan agama. “Kesadaran untuk bertindak” berarti bertindak dengan sadar. Tindakan tidak sengaja atau di luar kesadaran tidak bisa disebut kesabaran. “Kesadaran untuk bertindak” juga berarti tidak diam atau vakum, karena kevakuman itu sendiri adalah tidak baik. Bahkan diam saja sementara zaman terus berubah itu sama saja dengan kemunduran. Jadi, “Kesadaran untuk bertindak secara kontinyu sesuai logika dan agama” berarti tekad untuk bertindak secara sadar dan kontinyu sesuai logika dan norma-norma agama dalam segala situasi-kondisi dan kapanpun. Manakala kontinyuitas itu terputus, otomatis kesabaran menjadi terputus. Ini juga menunjukkan bahwa kesabaran sesuai ajaran agama kita dilakukan dengan tanpa batas, kita harus bersabar tanpa mengenal batas. Jangan semata karena motor kita dicuri lantas kita menggebuki pencurinya sampai mati; jangan karena kebandelan anak kita menghajarnya habis-habisan; jangan karena tahu ada acara yang lebih menarik kita tinggalkan janji; jangan karena sang kekasih meninggalkan kita lantas kita putus asa; dll. Dalam kondisi-kondisi seperti itu, kapan kesabaran hilang, otomatis emosi/amarah tidak terkontrol merasuk, lantas mendorong kita melakukan hal-hal negatif. Memang, mustahil manusia terlepas total dari emosi (hanya berlandaskan logika dan agama) , sehebat apapun dia. Persoalannya bukan kita hendak membebaskan diri dari emosi, tapi mengendalikannya agar kita termotivasi berbuat hal-hal positif. Lantas, bagaimana kita bisa berlaku sabar? Kita akan bisa berlaku sabar setelah mengetahui apa sebab utama ketidaksabaran, dan setelah tahu kita mau mengatasinya. Tiada lain adalah faktor atau sebab utama ketaksabaran adalah ketidakmauan atau ketidakmampuan berfikir panjang dan ketidakmauan atau ketidakmampuan mengambil hikmah/pelajaran dari kejadian yang dihadapinya.
Terapi atau Pengobatan Penyakit Hati
Untuk mengatasinya, pertama adalah harus membiasakan diri berfikir panjang mengenai sebab-akibat yang berkaitan dengan tindakan yang akan kita lakukan. Kita bikin daftar panjang: andai saya begini kira-kira apa yang akan terjadi, lantas akan berdampak apa.. terus apa…terus apa, dst; seandainya saya begitu kira-kira apa akibatnya, lantas akibat ini akan membuahkan apa.. lalu apa…lalu apa, dst. Kemauan berfikir seperti ini akan membuat kita tahu apa yang seharusnya dan sebaiknya kita lakukan. Kita bikin skala prioritas: mana yang harus dikerjakan lebih dulu, lalu yang harus berikutnya, dst. Sebab, tidak mungkin kita bisa bersabar tanpa mengetahui bahwa apa yang seharusnya kita perbuat itu baik.
Manusia harus pandai-pandai mengambil hikmah dari kejadian yang menimpa kita. Kalau tertimpa kesedihan jangan lantas kita lupa daratan, demikian pula kalau dikaruniai nikmat yang luar biasa. Tapi ambillah hikmah atau pelajaran dari sebuah kejadian. Misalnya sepeda motor kita dicuri orang, maka setidaknya hikmah itu berupa kesadaran “betapa nikmatnya orang memiliki sepeda motor, bisa ke sana kemari dengan cepat, bisa bekerja dg waktu yang sangat efisien.” Munculnya kesadaran seperti ini adalah sebuah nikmat pula, yang boleh jadi memicu kita untuk bekerja lebih baik di masa-masa mendatang. Itu hikmah yang paling minim kita rasakan setelah hilangnya sebuah kenikmatan. Perlu diketahui, kebanyakan orang itu tidak menyadari adanya sebuah kenikmatan kecuali setelah hilangnya kenikmatan tersebut. Juga kebanyakan orang merasa harus bersabar setelah mengalami keadaan sulit. Namun hendaknya kita jangan seperti kebanyakan orang itu. Tapi galilah hikmah-hikmah lainnya yang intinya menuntut kita untuk berbuat lebih baik. Bila kehilangan motor, kita telusuri sebab akibatnya: oh, salah sendiri saya tidak menguncinya; oh, salah sendiri saya terlalu lama meninggalkannya; oh salah sendiri saya tidak menitipkannya di tempat penitipan yang aman. Kita gali semua kemungkinan-kemungkinan penyebabnya, lantas kita bertekad agar keteledoran-keteledoran itu tidak terulang di waktu mendatang. Sampai kita pada kesadaran bahwa kebaikan atau kenikmatan itu adalah kesabaran itu sendiri. Pernah ada seseorang mengeluh ke Rasulullah: “Wahai Rasul, harta saya hilang dan badan saya sakit.” Jawab beliau: “Kebaikan (keberuntungan) itu tidak terdapat pada orang yang hartanya tidak hilang dan badannya tidak sakit. Sebab, jika Allah itu memang mencintai seorang hamba maka Allah menurunkan cobaan padanya lantas membekalinya kesabaran.” Dalam hadis lain, Nabi bersabda: “Besok di hari Kiamat didatangkan orang yang paling banyak kenikmatan duniawinya, lantas dimasukkanlah orang itu sebentar di neraka dan dikeluarkan dalam keadaan hangus terbakar, setelah itu ditanya: ‘Apakah selama kamu di dunia selalu mendapati kenikmatan duniawi?’ Jawabnya: ‘Tidak. Saya selalu menemui cobaan sejak saya tercipta.’ Dan didatangkan juga orang yang paling berat cobaan hidupnya di dunia, lalu dimasukkan ia ke surga sesaat dan dikeluarkan dalam keadaan bersinar laksana bulan purnama, lantas ditanya: ‘Apakah selama di dunia kamu selalu tertimpa cobaan?’ Jawabnya: ‘Tidak. Saya senantiasa mengalami kenikmatan sejak saya tercipta.’” Kedua hadis itu menegaskan bahwa kebaikan/kenikmatan itu tidak identik dengan sesuatu yang mengenakkan, seperti harta benda. Tapi kebaikan/kenikmatan adalah kesabaran itu sendiri. Sebab andai saja kita kaya raya, maka itu berarti cobaan: apakah kita bisa dg sabar membelanjakan harta di jalan yang benar? Bila dikaruniai ilmu yang tinggi, maka apa kita akan kontinyu mengamalkan ilmu demi kebenaran? Bila dikaruniai fisik sempurna, sehat tidak kurang suatu apa, maka apakah kita akan senantiasa menggunakan kesehatan tersebut untuk hal-hal yang manfaat? Pertanyaan-pertanyaan (muhaasabah) seperti inilah yang perlu kita bisikkan terus-menerus dlm hati dan pikiran kita. Demikian sekelumit nasehat ini, semoga bermanfaat bagi saya, Anda, dan saudara-saudara kita yang lain. Tulisan singkat ini sama sekali tidak menyarankan agar meninggalkan kenikmatan dunia. Tapi adalah penegasan bahwa kita harus bekerja sebaik-baiknya di bidang masing-masing. Kewajiban bekerja itu bukan semata untuk menumpuk harta, tapi untuk mencari harta yang harus (senantiasa/kontinyu) kita gunakan sebaik-baiknya. Kewajiban menuntut ilmu setinggi mungkin tidak hanya agar kita menjadi pintar (apalagi sekedar mendapat gelar), tapi agar senantiasa bisa memanfaatkannya untuk kebaikan. Arif Hidayat
Tidak Banyak Bicara
Terlalu banyak bicara dapat membuat hati kita menjadi keras. Berbicaralah yang tidak penting secukupnya dan hindari menjadi orang yang omong besar, omdo / omong doang, pembual, tukang bohong, ghibah, ngerumpi, dan lain sebagainya. Banyak bicara dalam kebaikan boleh-boleh saja seperti untuk mengajar, petugas pelayanan, ngobrol biasa dengan teman, tetangga, keluarga, dan lain sebagainya.
Menjaga Emosi Dan Nafsu
Emosi dapat membuat hidup menjadi tidak tenang. Oleh karena itu kita sebaiknya selalu menjaga emosi kita agar tidak menjurus ke penyakit hati. Beberapa contoh nafsu yang harus kita tundukkan antara lain seperti nafsu akan harta, nafsu seks, nafsu makan, nafsu jabatan, nafsu marah, nafsu mewujudkan impian, dan lain sebagainya. Salah satu cara untuk melatih emosi dan nafsu kita adalah dengan melakukan ibadah puasa, baik puasa sunah maupun puasa wajib ramadhan.
Selalu Mengingat Allah SWT
Ada beberapa cara untuk dapat selalu mengingat Allah SWT yaitu seperti dengan rajin sholat baik sholat wajib lima waktu, shalat tahajud, sholat dhuha, solat malam, dan lain-lain. Selain itu zikir, doa dan mengaji atau membaca al-qur’an juga dapat menghindarkan kita dari penyakit hati. Diharapkan dari mengingat Allah SWT kita menjadi takut atas ancaman Allah SWT jika kita melakukan dosa yang disebabkan oleh penyakit hati dan perbuatan maksiat.
Bergaul Dengan Orang Saleh / Soleh
Dengan berteman dengan orang-orang yang penuh dengan penyakit hati hanya akan menulari kita dengan penyakit-penyakit itu sehingga kita akan semakin jauh dari Allah. Salah pergaulan juga dapat menambah dosa akibat perbuatan maksiat yang baik disadari atau tidak telah kita lakukan. Lain hal apabila kita bergaul dengan orang shaleh yang selalu menjaga dan membatasi diri dalam pergaulan agar mereka tidak terjerumus dalam maksiat.
Bersihkan jiwa kita dari akar penyebabnya dengan : banyak bersyukur, ikhlas menerima hal buruk yang terjadi dalam hidup kita dan gembleng terus keimanan kita, tersenyumlah, karena dengan tersenyum hati yang kecut jadi segar dan lembut, balaslah perbuatan buruk orang lain dengan kebaikan kita tanpa pamrih dan tidak dibuat-buat, sering-seringlah melihat dengan mata lebar dan hati yang jernih dilingkungan sekitar dan sesama kita yang masih kurang beruntung dibanding kita, niscaya sakitnya jiwa kita akan sirna. Mulailah semua itu dari diri kita sendiri…. alhasil orang disekitar kita akan terkontaminasi dengan karakter perubahan kita yang lebih baik.
Jadi tak usah heran, kesal atau marah jika kita menemukan orang yang berkarakter buruk dan sangat menganggu hubungan sosial kita, pahami saja karena justru kita seharusnya prihatin pada mereka karena mereka “sakit” dan kita tidak mau jadi seperti mereka kan?
Tips menghadapi orang-orang yang berkarakter buruk :
1. jangan terpancing emosi atau sakit hati, tetaplah jernih berpikir
2. tak usah membalas apalagi melabrak
3. jangan menjelek-jelekan mereka
4. ramahlah pada mereka
5. jangan kucilkan mereka
6. berbaik sangkalah pada mereka
7. balas dengan perkataan yang sopan
8. ajaklah berbicara empat mata
9. jangan sinis menghadapi mereka
10. kasihanilah mereka dengan mencoba menyadarkan mereka
11. berilah kado
12. maafkan mereka