Walaupun di kalangan NU dia berdarah biru, turunan kyai dan dekat dengan menteri agama pada masanya, kesulitan ekonomi pernah menyergap keluarga Gus Dur. Saat itu dia baru menikah dengan Sinta Nuriah. Gus Dur memang lulusan luar negeri, dan bekerja lembaga bergengsi, LP3S, namun kegemarannya mengunjungi berbagai pesantren sempat membuat ekonominya morat-marit.
Maka, jalan keluarnya adalah meyambi dagang. Isterinya, Ny. Sinta Nuriah memilih dagang makanan kecil, kacang tayamum. Dia menggoreng kacang dengan pasir panas, dan Gus Dur memasukannya dalam plastik dan mengelemnya dengan lilin. Menggoreng dan membungkus kacang plastik menjadi kegiatan tiap malam Gus Dur dan Sinta Nuriyah.
Ketika ibu Gus Dur memberikan hadiah Vespa, skuter itu digunakan untuk jualan es lilin. Saat itu tahun 1973-an, hingga . Di Jombang pada masa itu sempat terkenal sebutan “Es Lilin Gus Dur”. Putri pertamanya kemudian lahir. Sampai kemudian Kyai Sobary, pengasuh ponpes Tambakberas, memintanya agar mengajar di pesantrennya.
Meski awalnya kurang percaya diri, kyai kondang di Jombang itu terus mendorong hingga Gus Dur pun mengajar, karena bekal ilmunya dari Al Azhar khususnya di bidang kaidah Fiqh dianggap mencukupi. Kisah ini ada dalam buku Biografi Gus Dur, yang ditulis Greg Barton, dosen Deakin University, Geelong Victoria, terbitan LKiS.