Dua belas tahun sudah berlalu, kasus Tragedi Mei 98 mengalami kebuntuan. Padahal hingga kini korban dan keluarga korban masih mengalami trauma, sementara yang bertanggungjawab atas tragedi ini masih bebas berkeliaran.
Para korban, keluarga korban dan pendamping Tragedi Mei 98 mendesak ketegasan pemerintah terhadap upaya penegakan hukum dan keadilan. Pendamping korban dari Yayasan KontraS, Yati Andriani mendesak Kejaksaan Agung menindaklanjuti serius rekomendasi Komnas HAM yang menegaskan bahwa kasus itu tergolong pelanggaran HAM berat dan menuntut Kejaksaan Agung menuntaskan kasus itu: „Hasil rekomendasi Komnas HAM sudah ada sejak 2002-2003. Kita minta kepada presiden untuk mendorong proses hukum ini.“
Ditambahkannya, yang lebih memprihatinkan mereka yang diduga bertanggungjawab dalam kasus ini, malah terjun ke dunia politik dan mebikmati impunitas: „pemanggilan terhadap Sjafrie Syamsuddin juga ditolak oleh Babinkum TNI/Polri.“
Padahal para korban menanggung beban trauma hingga kini. Andi Yestriani dari Komnas Perempuan menyebutkan, bukan hanya korban yang mengalami trauma dan kesulitan menjalani kehidupan normal pasca tragedi itu, namun para pandamping korban juga merasa frustasi: „penyangkalan terhadap kesaksian korban di awal tahun 98 amat membekas di hati mereka.Hari ini i-dus.com bertemakan tentang"12 Tahun Berlalu, Tragedi Mei 98 Terabaikan. Ada yang kehilangan kepercayaan pada gerakan reformasi sehingga tak mau bersentuhan dengan dunia politik. Ada pula yang merasuk ke kehidupan pribadi sehingga sampai ada juga yang harus bercerai.“
Tak hanya terhadap kejaksaan atau pemerintah, keluarga korban juga begitu kecewa terhadap DPR yang menyatakan bahwa tragedi itu bukan pelanggaran HAM berat. Sekarang, para korban, keluarga korban dan pendamping Tragedi Mei 98 meminta negara tidak melupakan begitu saja masalah itu. Yati Andriani dari KontraS menuturkan:„Di pikiran korban tak ada dendam atau menyasar secara personal. Tapi kebenaran itu penting untuk menapak ke masa depan. Kalau kebenaran ditutupi kita tidak akan pernah belajar.“
12 Mei 1998, perjalanan sejarah Indonesia terkoyak oleh pembunuhan terhadap para mahasiswa pro reformasi yang berunjuk rasa. Peristiwa tragis itu disusul dengan kerusuhan masal, berupa penjarahan, pembakaran, dan kekerasan seksual. Etnis Tionghoa tidak luput menjadi korban. Komnas HAM juga pernah membentuk komisi penyelidik yang kemudian memberikan rekomendasi. Tapi tidak ada langkah lanjutan dari parlemen maupun pemerintah sampai sekarang.